Cara Membuat Biodiesel dari Minyak Jelantah


Biodiesel dapat dibuat dari minyak sayur (nabati) tidak usah beli lagi di supermarket, tapi bisa digunakan minyak jelantah bekas menggoreng.

Agar dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan, kita perlu menurunkan viskositas atau kekentalan dari minyak goreng. Pada dasarnya minyak nabati ini perlu proses pencampuran, serta butuh waktu untuk penyesuaian, Minyak lemak (vegetable oil) merupakan trigliserida, terdapat tiga molekul minyak atau ester, yang menempel pada satu molekul gliserin. Gliserin inilah yang membuat minyak tebal dan lengket.


Untuk mendapatkan biodiesel, kita harus menghilangkan gliserin ini dan menggantinya dengan alkohol. Inilah proses yang disebut transesterifikasi. Proses ini berlangsung pada suhu sekitar 400 derajat celsius.
Membuat biodiesel selain memerlukan minyak nabati, juga diperlukan alkohol dan katalis. Untuk alkohol bisa digunakan etanol atau metanol. Katalis bisa dipakai alkali (NaOH) atau potasium hidroksida (KOH).

Bila menggunakan alkohol atau katalis yang berbeda, proporsinya berbeda pula. Untuk simpelnya, di sini hanya menggunakan material yang biasa digunakan yaitu metanol dan alkali (lye). Mencampur metanol dan alkali menghasilkan sodium methoksida, yang kemudian dicampurkan dengan minyak goreng untuk menghasilkan biodiesel dan gliserin.

Katalis digunakan untuk memicu terjadinya reaksi biodiesel. Karena minyak lemak atau minyak goreng sifatnya asam, maka untuk ‘memecahkan’ molekul minyak, kita mesti tambahkan basa yang kuat. Untuk itu kita gunakan sodium hidroksida (NaOH). Jumlah
alkali yang ditambahkan tetap bila menggunakan minyak goreng baru, tapi untuk jelantah bervariasi karena jumlah asam lemak bebas (Free Fatty Acid) berbeda tergantung lamanya proses pemanasan minyak.

Untuk menentukan jumlah FFA, kita lakukan proses titrasi. Titrasi juga dilakukan untuk mengetahui jumlah total katalis yang ditambahkan.

Isopropil alkohol digunakan untuk proses ini. Pertama-tama, larutkan 1 gram alkali ke dalam 1 liter air murni; larutkan 1 ml minyak goreng ke dalam 10 ml isopropil alkohol; teteskan larutan alkali ke dalam minyak goreng yang telah dicairkan sambil mengukur pH-nya setiap saat; ketika pH meningkat 8 atau 9, FFA telah dinetralisasi.

Biodiesel (metil ester) dapat dibuat dalam blender, botol soda, atau tangki pencampur. Perbedaannya adalah soal ukuran wadah dan jumlah bahan yang digunakan. Pada tulisan ini hanya membuat sejumlah kecil biodiesel. Bila ingin membuat dalam jumlah besar, tinggal gunakan dengan proporsi yang sama dan campurkan dalam wadah-wadah yang lebih besar.

Sebagai gambaran, kita buat 1 liter biodiesel. Pertama, lakukan titrasi untuk menentukan jumlah alkali yang diperlukan; larutkan alkali pada 200 ml metanol; campur sodium methoksida (hasil reaksi metanol dan alkali) dengan 1 liter minyak goreng tunggu selama 20 menit; biarkan gliserin menyesuaikan diri sekurangnya 8 jam.

Biasanya pemisahan terjadi setelah jam pertama, sehingga anda bisa melihat berlangsungnya proses tsb. Kemudian pisahkan biodiesel dari gliserin. Nah, akhirnya anda siap untuk menjalankan mobil berbahan bakar ramah lingkungan ini.
Selengkapnya...

POHON : PENYERAP CO2 PENCEMAR, PENGHASIL OKSIGEN DAN PENYIMPAN KARBON


Salah satu agenda pembahasan dalam Asian Parliamentary Assembly (APA) yang dimulai 8 Desember 2009 di Bandung adalah penyelamatan bumi dari pemanasan global (Pikiran Rakyat, 7 Desember 2009). Nampaknya isu kenaikan suhu bumi ini terus mendapat perhatian serius dari bangsa-bangsa di Asia. Termasuk Indonesia.
Perubahan lingkungan, sudah secara nyata dan mudah dirasakan sekarang ini. Udara di sekitar dirasakan lebih panas dari biasanya, udara dirasakan tidak segar lagi di pagi hari tatkala mentari terbit di ufuk timur. Udara pun jarang memperlihatkan wajah bersih dan cerah tatkalakita pandangi. Ini menandakan bahwa udara di sekitar kita sudah tidak bersih lagi, telah mengalami pengotoran atau pencemaran.
Peningkatan suhu bumi, bukan hanya pembahasan dalam tulisan-tulisan ilmiah atau dalam international summit saja, tetapi secara nyata dirasakan oleh masyarakat awam. Pada suatu kesempatan penulis berbincang-bincang dengan penduduk di Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Mereka mengatakan bahwa sekarang di Kawasan Puncak udaranya tidak dingin seperti dulu. Demikian halnya saat penulis mendengarkan obrolan penduduk di Ciwidey, Kabupaten Bandung saat mudik lebaran beberapa bulan yang lalu. Mereka merasakan hawa pegunungan Ciwidey tak dingin lagi seperti dulu, mandi di waktu subuh tidak lagi membuat badan ngahod-hod. Di saat pagi-pagi tak ada lagi pemandangan masyarakat siduru atau dihaharudung ku sarung.
Banyak sebab udara tercemar yang menyebabkan kualitas udara menjadi buruk. diantaranya akibat pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara). Pembakaran BBF mengemisikan gas CO2 (karbondioksida) ke atmosfer dan terus-menerus terakumulasi dan meningkatkan konsentrasi CO2 atmosfer / udara. Sebab itu, Gas CO2 kini bukan lagi sebagai komponen alamiah atmosfer bumi, tetapi berstatus sebagai zat pencemar. Selama 150 tahun terakhir, konsentrasi CO2 telah meningkat dari 280 ppm menjadi hampir 380 ppm.
Gas CO2 yang pekat di atmosfer menghalangi pantulan sinar mata hari dari bumi kembali keatas permukaan bumi, dan ini menyebabkan meningkaatnya suhu udara. Fenomena ini dikenal segai green house effect atau efek rumah kaca. Efek rumah kaca telah betul-betul didukung oleh data meningkatkan suhu udara, bukan hanya pada lingkup lokal tetapi sudah mencapai skala global sehingga dikenal sebagai pemanasan bumi atau pemanasan global (global warming). Menurut U.S National Research Council, dalam seabad terakhir rata-rata kenaikan suhu di permukaan bumi mencapai 0,3 oC -0,6 oC. Dalam akhir abad ke-21 rata-rata suhu bumi meningkat 1,4 oC -5,8 oC dan dalam 400 tahun terahir menunjukkan kondisi suhu paling panas
Peristiwa efek rumah kaca tidak hanya berakhir di meningkatnya suhu bumi, melainkan berantai pada dampak yang lain yakni meningkatnya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub dan di gunung-gunung pencakar langit yang kemudian menyebabkan naiknya permukaan air laut setinggi 0.09 - 0.88 meter. Efek rumah kaca pun menyebabkan perubahan iklim (climate change). Peningkatan permukaan air laut menjadi ancaman masalah banjir besar bagi negara kita. Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, negara kepulauan (memiliki lebih dari 17.000 pulau) yang memanjang sepanjang 5.000 km di ekuator. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya penduduk di daerah pesisir menghadapi banjir permanent karena air laut naik ke daratan pesisir. Perubahan iklim global juga akan berdampak buruk terhadap hidupan liar (wild life) dan produksi pertanian. Kepunahan jenis flora dan fauna menjadi ancaman yang sulit terelakkan dan stabilitas keamanan penyediaan pangan dunia akan mengalami guncangan dahsyat.
Perubahan iklim global akan berdampak pada kepunahan jenis hidupan liar flora dan fauna, karena tidak mampu beradaptasi terhadap suhu yang panas dan perubahan iklim. Sebagai negara yang mendapat julukan the megabiodiversity country (Indonesia memiliki luas 1,3% dari luas dunia, tetapi memiliki lebih dari 10% tumbuhan berbunga, 12% mamalia dunia, 16% reptil dan amfibi, 17% jenis burung, dan 35% jenis ikan di dunia) maka ancaman kepunahan jenis hayati di Indonesia bukan hanya mencemaskan bangsa Indonesia saja, melainkan bangsa-bangsa di dunia. Keanekaan jenis hayati Indonesia tak ubahnya seperti bank-bank gen raksasa yang menjanjikan keuntungan sangat besar di masa datang untuk diteliti, dikembangkan dan dimanfaatkan menjadi bahan pangan baru, sumber energi, bahan baku industri, dan bahan obat baru., Adalah suatu kerugian yang sangat besar, yang sulit dihitung nilai valuasinya, bila terjadi kepunahan jenis sementara IPTEK belum dapat mengenali dan memanfaatkan jenis itu.
Memang, CO2 bukan satu-satunya gas pencemar penyebab efek rumah kaca, tetapi gas ini menduduki peringkat pertama penyumbang masalah meningkatnya suhu bumi. Lautan sebenarnya diketahui punya peran dalam menyerap CO2. Namun nampaknya laut pun tak kuasa lagi mengimbangi laju akumulasi CO2 pencemar di atmosfer yang secepat kilat Harapan kita sekarang bertumpu pada agent lain yang sangat intensif menyerap CO2 yakni tumbuhan atau tanaman, baik yang hidup di dalam kawasan hutan, di lahan pertanian maupun di tempat-tempat pemukiman, di kota maupun di desa.
Selengkapnya...